Jejak
tempias hujan masih terlihat dengan jelas di teras rumahku, bahkan raut wajah langit
yang sendu pun masih setia mengungkung semesta meski hujan telah berlalu sejak
lima belas menit yang lalu.
Hmmm…biasanya
ketika turun hujan seperti tadi bidadariku akan datang menghampiri membawakan
secangkir kopi panas,memakaikanku jaket tebal lalu mengajakku berdiri di bibir
jendela menyaksikan tarian hebat ribuan pasukan air langit,sambil terus saling
bergenggam tangan lama sekali, ahh..menyenangkan sekali suasana pada saat itu
“
aku akan selalu mengingatnya cinta…” gumamku dalam hati.
Hari ini tanggal dua puluh bulan
tiga,menjadi hari paling istimewa sepanjang hidupku, ya pada hari ini empat
puluh lima tahun yang lalu aku menikahi seorang bidadari cantik putri kepala
desa sahabat bapakku. Pertama kali melihat fotonya entah mengapa hatiku begitu
damai menatapnya,membuatku sangat yakin bahwa dia adalah perempuan yang pantas
untuk menjadi istri sekaligus ibu bagi anak-anakku kelak, perempuan shalehah
yang keibuan, hingga membuatku dengan senang hati mengangguk semangat
menyetujui perjodohan itu.
Sebulan…
Dua bulan setelah pernikahan….
Kami merasa sangat bahagia layaknya
sepasang muda-mudi yang sedang kasmaran, mulai mengenal pribadi masing-masing,
aku mulai tahu bahwa warna kesukaannya adalah merah, tidak suka makan sayur dan
buah, suka menatap langit malam berlama-lama, girang bukan kepalang ketika
melihat hujan turun, dia pun mulai menghafal apa makanan favoritku,buku-buku
kesukaanku,suka berlibur kemana dan banyak hal menarik lagi lainnya yang
membuat kami semakin dekat,saling memahami dan menyatu seperti manunggal jiwa
seolah-olah aku memang diciptakan untukknya dan dia memang diciptakan untukku.
Tiga tahun telah berlalu, waktu
telah berlari dengan cepatnya bak lesatan peluru. Di tahun ketiga ini kehidupan
kami masih sama bahagianya seperti awal pernikahan bahkan terasa kian semarak
dengan kelahiran seorang bayi perempuan yang kami beri nama Cindanita.
Setelah
anak kami memasuki usia delapan tahun istriku pun mulai kembali bekerja, ia
mengajar di sebuah sekolah dasar tempat anak kami bersekolah juga, letaknya tak
berapa jauh dari rumah. Semua tetap berjalan dengan normal karena istriku
begitu pandai membagi waktu. Mengajar, mengurus buah hati kami, mengurusku,
juga mengurus semua kerluan rumah tangga lainnya,sesekali aku pun ikut
membantunya agar ia tak terlalu sibuk. Dia tetap menjadi bidadari cantikku,
bidadari yang selalu memberiku semangat dan inspirasi melalui senyumnya, senyum
manis yang senantiasa kurindukan setiap saat.
Dan
perpisahan itu pun bermula….
Pagi itu istriku pergi ke Surabaya
untuk urusan dinas, tak ada firasat apa pun pada saat itu, aku hanya merasa
sedikit berat untuk melepas kepergiannya, rasanya aku ingin terus berlama-lama
menatap senyumnya, memeluknya erat-erat, namun akhirnya tetap ku relakan jua
dia berangkat ke Surabaya.
Tengah malam telepon selularku berteriak
kencang berkali-kali dan berhasil membangunkanku dari tidur lelapku,kulihat
bukan nomor yang kukenal yang terpampang di layar HPku
“haaa…siapalah orang ini?kenapa pula harus
menelepon tengah malam begini ?” gerutuku sebal.
Degh...
dan kabar buruk itu pun datang…
dan kabar buruk itu pun datang…
Bus
yang ditumpangi oleh istriku mengalami kecelakaan beruntun tak jauh sebelum
sampai ke hotel tempatnya akan menginap, mati otak, dia koma.malam itu juga aku
langung meluncur ke Surabaya, cindanita kutitipkan pada ibuku.
Duhai…duniaku seakan ikut runtuh
seketika itu juga, lihatlah…bidadariku tergolek lemah tak berdaya di atas
tempat tidur dengan belalai panjang disana sini, juga sebuah alat berbentuk
kotak tepat berada di samping kepalanya,mirip sebuah radio besar jaman dulu yang
ramai sekali berdecit-decit tiada henti menandakan bahwa masih ada kehidupan
disana.tak ada senyum manisnya malam ini.

Enam bulan setelah dirawat di Surabaya
aku memutuskan untuk membawanya pulang agar aku bisa merawatnya dengan lebih
baik, karena lama kelamaan aku kuwalahan juga jika harus bolak-balik
Jakarta-surabaya. Aku tetap bekerja seperti biasa, sebelum berangkat aku
menyapanya, membersihkan tubuhnya lalu mendandaninya agar ia selalu merasa
cantik, membuat sarapan,mengantar anakku ke sekolah dan seperti biasa sebelum
meninggalkannya aku akan menelepon ke Handphone-nya lalu meletakannya tepat di
telinganya agar aku bisa terus mengajaknya bicara selama aku bekerja agar ia
tak merasa kesepian .teman-teman kantorku pun mulai hafal kebiasaan baruku yang
satu ini, di sela-sela kesibukanku mengerjakan tugas kantor aku juga sibuk
menceracau di Handphone, cerita tentang ini itu, kadang menyanyi, kadang
mengajak bercanda yang justru malah mengundang rasa iba dari teman-teman
kantorku karena mereka tahu bahwa lawan bicaraku yang di seberang sana sama sekali tak
bisa ikut tertawa mendengar leuconku, tapi sungguh aku yakin di dalam hatinya yang
paling dalam bidadariku itu selalu ikut tertawa mendengar guyonanku, ikut
menimpali cerita-ceritaku juga ikut berdendang bersamaku meski suaraku
terdengar amat sumbang, aku yakin itu.aku ingin agar kehidupan kami tetap
berjalan normal sama seperti saat ia sehat.
Lima
belas tahun telah berlalu….
Bidadariku
masih saja setia dengan tidur panjangnya, dokter bilang peluang hidupnya sangat
kecil hanya satu persen.
“ cinta…ayo cepat bangun…,
lihatlah Cindanita kita lusa akan menikah “ bisikku mesra sambil memeluknya
menatap hujan.
Malam ini aku ingin terus
memeluknya, menatap wajahnya berlama-lama.
Duhai…lihatlah
kenapa wajahnya terlihat begitu damai malam ini, ia jadi terlihat semakin
cantik, seulas senyum manis pun tergores di bibir mungilnya. Senang sekali aku
melihatnya tapi aku juga merasa sedikit aneh. Kudekatkan wajahku ke wajahnya
tak lagi kurasakan hembusan nafas hangatnya, mesin berbentuk kotak yang super
berisik itu pun memainkan bunyi yang berbeda “ttiiiiiiiiiiiitt….” Dengan garis
lurus panjang berwarna hijau terpampang di monitornya. Aku mulai panik, ku
panggil-panggil namanya,berseru-seru kencang mencoba membangunkannya,lama
sekali tetap tak ada respon, Cindanitaku sudah ikut berada di kamar,ikut melihat kejadian ini kemudian ia pun mulai
menangis, mulai menyadari sesuatu yang buruk telah terjadi, dia segera
menelepon dokter.
“innalillahi
wa innailaihi raajiuun…”
Bidadariku telah mengehembuskan nafas terakhirnya, ia pergi meninggalkanku untuk selamanya, ia pergi dalam pelukanku dengan tenang, ia pergi sebelum sempat menyaksikan Cindanitanya melangkah bahagia di pelaminan. Duhai…bagaimanalah perihnya perasaanku kala itu…?
“ayah pun sangat mencintai bidadari ayah yang tak lain adalah ibumu itu nak, namun ternyata Allah yang Esa jauh lebih mencintai ibumu..” gumamku lirih menghibur Cindanitaku yang tak henti-hentinya menangis.
Hehhh…aku
masih saja menangis tergugu tiap kali mengenang masa itu padahal kejadiannya
sudah berpuluh-puluh tahun yang lalu.
“cinta…,lihatlah…sekarang
cindanita kita sudah hidup bahagia dengan keluarga kecilnya, sudah punya tiga
orang anak yang lucu-lucu, kita sudah punya cucu yang senantiasa memanggil kita
dengan sebutan kaken dan ninen, bahkan anaknya yang paling kecil suka sekali
menggambar foto-foto kita sambil sesekali berseru riang bilang “aku ingin
cantik seperti ninen” ‘aku ingin mengoleksi baju-baju warna merah seperti ninen
“ hmm…lucu sekali bukan?
“cinta…apakah disana kau sedang tersenyum bahagia sepertiku?”
“Aku merindukanmu cinta….”.
0 komentar:
Posting Komentar